Selasa, 21 Januari 2014

Menunggu Vs Ditunggu

Tidak semua manusia  memiliki stock ‘sabar’ yang banyak. Kadangkala manusia lebih suka memilih jalan terburu-buru. Hingga mereka lupa dibalik ketergesaan itu ada makhluk yang bernama syetan. Sehingga sering kali kita menjadi lalai dan celaka.

Masih ingat dengan ajaran baginda Rasulullah dalam mengunyah makanan yang baik ? Beliau akan mengunyah sebanyak 40 kali untuk membiarkan makanan itu betul-betul lumat agar perut kita senang memproses makanan itu. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari ? jangankan  sampe 40 kali. Kunyahan ke sepuluh aja udah hilang entah kemana.

Senin, 09 Desember 2013 Tanar air dikejutkan dengan berita duka. Berita yang berasal dari Bintaro. Kecelakaan KRL Commuter Line dengan Truk pengangkut BBM. Hingga memakan beberapa korban. Kali ini bukan mau membahas salah dan kelalaian siapa. Kalau melihat fenomena ini, kadang miris terhadap stock ‘kesabaran’ para pengendara ketika berada diperlintasan kereta. Mereka lebih memilih menunjukan uji nyali mereka dibanding memilih menunggu.



Menunggu ?

Ya, satu kata kondisi ini tidak selalu memberikan kesan menyenangkan. Kadang membosankan. Apalagi saat kondisi sedang buru-buru dan stock kesabaran sedang limite. Rasanya ingin makan orang (eh, apa sampe segitunya yak?). Sedikit ngedumel (bahasa jawa : menggerutu) sih.

Tergesa-gesa?

Apakah dengan jalan ini juga menjamin urusan yang dituju akan tepat waktu didapatkan. Mungkin bisa tapi hasilnya tidak akan maksimal. Mungkin malah berantakan-berantakan juga.

“Tergesa-gesa adalah termasuk perbuatan setan,” begitu kata Nabi (HR Tirmidzi)

Kata kawanku dulu, setiap insan memaknai kata ‘menunggu’ itu berbeda-beda. Jika merasa yakin apa yang akan ditunggu maka ‘menunggu’ itu tidak akan ada artinya apa-apa.

Lama atau sebentar itu relatif. 2 jam bisa kau bilang lama. Dan 2 tahun bisa saya bilang sebentar. Semua di rasakan dan di lihat dari sudut pandang yang berbeda”.Dialog temanku dengan seorang gadis yang niat mau ditunggu.

Menurutku adalah paling yang menjengkelkan adalah ketika sudah menunggu di PHP-in pula. (Pengalaman yang hampir setiap sore di alami) :’) . Yupz, Kenek angkot jurusan Cikampek-Kopo sering sekali PHP-in. Bilangnya langsung jalan nggak taunya setengah jam baru berangkat. Satu menit rasanya setahun (hehe nunggunya nggak ikhlas sih). Mungkin salahnya saya juga tidak berpendirian. Siapa suruh mau saja menunggu yang tidak pasti. Bukannya banyak angkot-angkot lain yang lebih cepat berangkat. Tapi, masalahnya hampir semuanya seperti itu. Dan butuh ketelitian memilih yang benar-benar bukan sekedar janji. Dalam kondisi itulah di uji cara memilih. Diuji agar saat usai memilih tidak kecewa atas pilihannya. (perasaan ribet amat mau naik angkot aja). Tapi benar dalam hal memilih kudu bener2 teliti. (Pengalaman salah pilih angkot, padahal presentasi pertama dan angkot nggak jalan-jalan juga)..

Memang bukan hak ku untuk memaksakan angkotnya langsung jalan saat itu juga. Karena angkutan itu milik umum. Bukan hanya saya yang dia harapkan di dalam mobilnya. Masih banyak lagi penumpang-penumpang yang lain. Bayarannya yang lebih menjanjikan (bayaran ongkosnya maksudnya, karena jarak yang ditempuh lebih jauh). Kalau ingin sendiri ya naik mobil pribadi saja. Atau minimal  memboking satu angkot sendiri.

Dari sinilah saya belajar memaknai menunggu. Bahwa menunggu bukan aktifitas yang selalu menyenangkan. Apalagi kalau sudah dikaitkan dengan agenda dan target-target lain. Menunggu jadi membuat kita risau dan galau. Kalau dilihat dari peristiwa angkot tadi toh bukan kesalahan kenek/supir angkot sepenuhnya. Karena mereka nggak memaksa kita untuk percaya kepada mereka untuk naik angkotnya. Karena mereka memang sedang mencari nafkah. Dan pendapatannya dari jumlah si penumpang.

Meski pernah sesekali ada peristiwa diluar keinginan kita misal kenek memaksa sambil menarik-narik kita’. Kadang lebih galakan mereka. Padahal siapa coba yang mau pergi. Bahkan pernah menerima ucapan yang kurang baik. “ A****G, mentang-mentang make jilbab sok suci pisan”. Kalimat yang terlontar saat saya berusaha menghindar saat pundakku hampir dipegang. Manusiawi hatiku sakit dan kesal saat itu. Tapi coba mereda dan istighfar. Safarku masih jauh. Kalau emosi yang ada  perjalananku malah tidak sampai ketujuan. Mempercepat langkah dan menghindar adalah keputusan yang baik menurutku saat itu (konsekuensi perempuan jalan sendiri). Mungkin saat kaki melangkahkan keluar rumah saya lupa baca do’a. Itu mungkin kendala dari selama ‘menunggu’.

Berada pada posisi harus menunggu....

Bagaimana kalau satu-satunya pilihannya harus menunggu. Baik menunggu yang pasti maupun yang tidak pasti. Misal mengantri di bank, diloket pembayaran listrik (oh ya sekarang kan sudah ada token ya, lumayan mengurangi kondisi menunggu), dikantor pos, bahkan saat mengantri mau beli ketoprak (pernah menunggu hampir satu jam, karena yang beli banyak. Dan si ibunya bekerja sendirian). Padahal makannya paling lima belas menit selesai.

Pernah saya membaca sebuah artikel. Lupa siapa penulisnya. Intinya tentang budaya antri di jepang. Nggak perlu dibahas soal kedisiplinannya. Yang saya perhatikan poin-poin saat mereka dihadapkan harus mengantri. Antara lain :
  1. Management waktu, kalau mau antri paling depan berarti maka ya harus datang lebih awal
  2. Bersabar menunggu, apalagi kalau berada diposisi paling belakang
  3. Disiplin, pahami posisinya dan tidak menyerobot hak orang lain
  4. Belajar bersosialisasi, bisa saling mengenal dengan antrian depan dan belakang kita
  5. Kreatif mengisi kekosongan dengan hal yang bermanfaat, dari pada menunggu diisi dengan ngedumel, marah-marah kenapa tidak dicoba dengan hal yang bermanfaat. Misal membaca buku.
Jadi walaupun kita sudah antri panjang saat mau membeli tiket. Dan ternyata saat sudah didepan loket ternyata tiketnya sudah habis. ‘Menunggu’ nya kita tidak sia-sia (walau ada rasa jengkel setengah mati). Setidaknya ada satu atau dua paragraf bacaan yang kita baca. Maka perlunya selalu bawa buku bacaan.
Jangan mau kalah dengan Sistem kerja printer. Dia menggunakan metode queue (antrian).Queque berdisiplin FIFO (First In, First Out). Dimana yang mengantri pertama dia yang keluar pertama. Andai saja kertas-kertas print itu tidak mau mengantri dengan baik. Kemungkinan perjalanan saat ngprint tidak akan berjalan dengan baik. Printernya jadi eror, pencetakannya nggak baik, dan tintanya jadi kemana-mana. Oh ya, Kalau nggak salah dalam Stock Opname obat juga menggunakan ilmu itu. Agar tidak ada obat expired yang terlewat.

Akhir Kata ....

Menunggu mungkin bukan suatu hal yang menyenangkan, bisa jadi hal yang membosankan. Tapi, kita tidak bisa pungkiri hal tersebut. Karena kita hidup terkait satu sama lain. Setiap orang memiliki agenda, event, target, visi dan misi yang berbeda dengan kita. Sehingga deadline satu dengan yang lain tidaklah sama.

Menunggu...
Bagi pengantri harus paham seberapa lama hak kita dan pantas kita menunggu. Isi dengan hal yang bermanfaat. Kalau sekiranya kita tak yakin menunggu hal itu. Segeralah pilih keputusan. Dimana kita menghindari kekecewaan. Apalagi kalau deadline agenda kita sudah 5 cm didepan kita. Lebih baik kita ambil yang pasti.

Ditunggu...
Misal bagi pedagang, sopir angkot, dkk...sebaiknya jangan suka memberika janji manis kalau tidak bisa memberikan jaminan akan memberikan yang terbaik. Sebagai contoh kisah,Pagi itu saya mau berangkat kerja. Karena suatu hal, jadi nggak sarapan dirumah. Hingga akhrinya ku hampiri si ibu tukang ketoprak. Dari raut-rautnya sih sibuk banget. Ada sepuluh piring berjajar digerobaknya. Dan yang pasti,  punya saya tidak ada diantara sepuluh itu. “ Bu ketopraknya masih ada?”. Tanya saya. “masih ada neng”. Jawabnya tanpa melihatku karena sibuk ngulek bumbu. “ pesen satu, dibungkus ya bu”. Si ibu pun menoleh dan langsung memberikan pilihan dan konsekuensinya ‘menunggu’. “ Tapi, lama neng. Ini aja saya masih ada sepuluh piring. Yang bantu saya kebetulan lagi sakit. Jadi, ngerjainnya sendiri. Kalau neng mau sabar nunggu, mangga. Kalau nggak juga nggak apa-apa. Takut neng kelamaan nunggu”. Sempet berfikir, tapi nggak sampe ngitung kancing nunggu-engga-nunggu-engga. Ketegasan si ibu malah membuat saya tidak gentar buat nunggu. Hingga akhirnya saya pun lebih memilih menunggu. Walau hati kecil was-was ‘kira-kira kehabisan nggak ya’ (manusiawi dalam perjalanan suka ragu-ragu)
So, bagi menunggu yang ditunggu harus saling mengerti. Prinsip menunggu – ditunggu ini bisa dipakai kondisi apapun.

NB : Ide lahir saat diperlintasan kereta nunggu kereta Brantas lewat dan saat menunggu sebungkus ketoprak.


Menunggu saat diperlintasan kereta
Menunggu saat diperlintasan kereta